Sukses

Ical Didesak, Ical Bertahan

Liputan6.com, Jakarta - Oleh: Silvanus Alvin, Ahmad Romadoni, Widji Ananta, Luqman Rimadi, dan Sugeng Triono

Desakan suksesi kepemimpinan di tubuh Partai Golkar kini kembali menguat. Terutama pasca-pengumuman pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pemilihan Umum Presiden 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa 22 Juli silam.

Terlebih langkah politik Aburizal Bakrie sebagai pucuk tertinggi Golkar -- partai peraih perolehan suara kedua terbesar Pemilu Legislatif 9 April lalu -- hingga kini tetap mendukung koalisi permanen. Koalisi partai yang digagas Prabowo Subianto bersama pasangan cawapresnya, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa.    

Adalah Siswono Yudohusodo yang meminta Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie atau Ical untuk mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat pada pasangan Jokowi-JK. Dalam setiap kompetisi, menurut politisi senior Partai Golkar itu, pihak yang kalah harus mau mengakui dirinya kalah.

"Memang setelah KPU tetapkan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wapres untuk dilantik 20 Oktober, sebagai kader Golkar saya harapkan Ketum Golkar sampaikan selamat. Sportivitas itu penting dalam bagian membuat demokrasi sehat. Kalah dan menang dalam pilpres (pemilihan umum presiden), pileg (pemilu legislatif) dan pilkada (pemilihan kepala daerah) itu biasa," tutur Siswono di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 24 Juli 2014.

Menurut Ketua Dewan Pakar Golkar itu, pilpres kali ini adalah tahapan pemilu yang terbaik yang pernah dialaminya. Ia mengatakan partisipasi pemilih mencapai 72% dan antusiasme pemilih yang bersatu jadi relawan, merupakan bukti nyata kesuksesan pilpres.

Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR itu menuturkan KPU yang dipimpin oleh Husni Kamil Manik ini juga bekerja dengan baik. Salah satu buktinya adalah transparansi Formulir C1.

"Form C1 langsung diunggah ke situs KPU dan bisa diakses masyarakat. Ada kawalpemilu.org. Kemudian hitung secara berjenjang di PPS, PPK, KPUD kabupaten/kota, sampai nasional terbuka diikuti masyarakat. Dengan kondisi yang lebih baik dari pileg dan lebih baik diterima masyarakat, sulit dimengerti kalau ada yang menolak hasilnya," terang Siswono.

Pada kesempatan ini, Siswono menyampaikan sebuah pepatah untuk kubu yang belum mengucapkan selamat pada Jokowi-JK. "It's better to be a good loser than be a bad winner. The worst is the bad loser. Pak Jokowi-JK sudah tunjukkan good winner, tetap rendah hati dan tak ada pesta kemenangan berlebihan dan kita harap yang lain jadi good loser," tandas Siswono.

4 Kandidat Digadang-gadang

Tak hanya wejangan dilontarkan Siswono terhadap Ical. Siswono yang pernah menjadi pasangan Amien Rais sebagai cawapres saat Pilpres 2009 itu berharap bos Bakrie Group itu tak terpilih kembali sebagai ketua umum dalam Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar 2015. Ical bahkan dinilai telah menurunkan citra partainya.

Siswono pun menyarankan sebanyak 4 nama kandidat pengganti Ical. Siapa mereka?

"Kader berkualitas untuk pimpin Golkar itu cukup banyak. Ada mantan Ketua Umum Kadin MS Hidayat, Agung Laksono, Airlangga Hartarto, dan Ade Komaruddin," kata Siswono di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 24 Juli 2014.

Ketua Dewan Pakar Golkar itu mengatakan, ada syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi Ketua Umum Golkar. Syarat itu adalah pernah berada di pemerintahan, pernah berada di legislatif, dan punya materi yang cukup.

Pernah berada di pemerintahan, lanjut Siswono, bisa saja setingkat menteri. Ini agar calon tersebut paham cara menjalankan roda pemerintahan. Siswono menjelaskan, pengalaman di legislatif ini penting agar Ketum Golkar nantinya paham cara menjaga relasi dengan berbagai fraksi.

"Lalu materi cukup, karena biayanya mahal untuk jadi ketua umum. Perlu keliling ke daerah-daerah," ucap dia.

Dianggap Turunkan Citra Partai

Siswono menyarankan agar Ical tidak dipilih lagi karena sejumlah langkah yang telah ditetapkannya dianggap menurunkan citra Golkar.

"Langkah-langkah DPP di bawah Ical telah memerosotkan citra Partai Golkar. Mulai target suara 30% hanya bisa 14%, kursi DPR 106 turun jadi 91. Pemimpin di TV One tapi kampanye Golkar lebih sedikit dibanding kampanye pilpres yang bukan Golkar," ujar dia.

Siswono juga menyoroti langkah Ical membawa Golkar yang mendukung capres dari partai urutan 3 pileg dan cawapres dari partai urutan 5 di pileg. Sementara Golkar yang menjadi partai nomor 2 pileg justru tak mendukung mantan ketua umumnya sendiri, Jusuf Kalla atau JK.

Ia pun menyesalkan pula adanya pemecatan 3 kader Golkar, Nusron Wahid, Agus Gumiwang, dan Poempida Hidayatullah. Siswono menilai dukungan di Pilpres 2014 seharusnya tak boleh dibatasi.

"Dukungan pada pilpres itu hak pribadi seseorang. Saya sendiri dukung Jokowi walau partai dukung Prabowo. Beda dengan pileg, yang dipilih partai. Kalau orang Golkar dukung partai lain, bisa dipecat. Kalau pilpres, tak bisa dipaksakan. Golkar harus hormati pandangan pribadi dalam konteks pilpres," ungkap Siswono.

Sementara, lanjut Siswono, mantan Ketum Golkar Jusuf Kalla sama sekali tidak didukung.

"Selanjutnya, ada pula putusan DPP tanpa pembicaraan mendalam ikut koalisi permanen, bentuk yang aneh. Di daerah-daerah itu bisa saja saling berhadapan dan tidak mungkin permanen. Di DPR nggak mungkin permanen," imbuh Siswono.

Lebih jauh Siswono mengatakan, berdirinya Ical di belakang Prabowo saat menarik diri dari proses Pilpres 2014, Golkar dianggap secara sepihak ikut mendukungnya. Hal itu pun dinilai tidak menunjukkan kedewasaan politik partai yang akan merayakan ulang tahun ke-50 pada 20 Oktober mendatang tersebut.

"Ikut nyatakan Pilpres tidak sah, dihadiri Ketum, amat sangat memerosotkan Golkar sebagai partai tua yang harusnya berpolitik secara matang. Peristiwa politik itu cukup pada munas datang agar pimpinan DPP ini tidak dipilih kembali untuk pimpin Golkar. Tapi tidak perlu adakan munaslub (musyawarah nasional luar biasa)," tandas Siswono.

Desakan Munas Menguat, Ical Bergeming

Kegagalan Partai Golkar membawa pasangan Prabowo-Hatta menang dalam Pilpres 2014 membuat jurang perbedaan antarkader Golkar semakin lebar. Desakan agar Ketua Umum Aburizal Bakrie untuk mundur dari jabatan pun semakin deras.

Desakan berlanjut untuk segera digelar musyawarah nasional (munas) guna melakukan pergantian pengurus DPP Partai Golkar. Desakan yang banyak datang dari kader muda Golkar meminta munas dilaksanakan pada 2014.

Namun, Ical tampaknya bergeming atas desakan itu. Ia menegaskan, munas tetap digelar 2015. "Munas Golkar tetap 2015," kata Ical usai mengikuti buka puasa bersama di kediaman Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial (Menko Kesra) Agung Laksono, Jalan Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu 23 Juli 2014.

Ical mengaku tidak mendapati desakan untuk segera dilakukan munas sebelum 2015. Menurutnya, desakan Munas harus muncul dari pengurus DPD tingkat I yang memiliki suara.

"Belum ada desakan itu dari daerah kan yang punya suara DPD tingkat 1. Dan itu musti jumlahnya 2/3 atau 67% dari seluruh DPD. Buat saya nggak ada masalah tentu harus DPD tingkat 1 yang mengusulkan," jelas politisi sekaligus pengusaha nasional berusia 67 tahun tersebut.

Ia juga menegaskan, dinamika yang terjadi di partai berlambang pohon beringin itu tidak ada hubungannya dengan koalisi permanen yang sudah disepakati dengan kubu Prabowo-Hatta. Sebab, hal itu menurutnya sangat berbeda.

"Nggak ada hubungannya Golkar dengan koalisi permanen. Koalisi permanen ya koalisi permanen jadi tetap," tandas Ical.

Desakan Kader Muda

Bukan hanya politisi senior yang mendesak Ical mundur melalui mekanisme yang berlaku di Partai Golkar. Kader muda Golkar yang berasal dari Angkatan Muda Perubahan Indonesia (AMPI) turut menyuarakan desakan serupa.

Ketua Umum AMPI Dave Laksono mengatakan, partai harus segera melakukan langkah-langkah lebih lanjut setelah hasil pilpres sudah diketahui.

"Sejak awal kita bekerja sesuai aturan. Sebelum pileg ada rapimnas, setelah pileg ada rapimnas, jelang pilpres ada rapimnas. Setelah pilpres ini kami ingin rapimnas juga digelar," kata Dave di kediaman Menko Kesra Agung Laksono, Jakarta, Rabu 23 Juli 2014.

Menurut Dave, rapimnas harus dilakukan karena ada evaluasi setelah pilpres. Ia mengaku prihatin dengan kondisi Golkar saat ini. Menurutnya, Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie gagal membawa partai ke prestasi tertinggi.

Hal itu dapat dilihat mulai dari perolehan suara pileg, tidak memajukan capres sendiri padahal berada di posisi kedua. Terlebih, capres yang didukung Golkar juga kalah pada pilpres. "Karena itu kami mendesak segera digelar munas untuk mengganti pengurus DPP partai," lanjut Dave.

Dave mengatakan, berdasarkan AD/ART partai, munas harus dilakukan 5 tahun sekali. Munas sebelumnya digelar pada Oktober 2009. Jika dihitung, Golkar seharusnya kembali melaksanakan munas pada Oktober 2014.

"Kalau sampai Oktober 2014 tidak dilakukan munas, tentu akan melanggar AD/ART partai. Efeknya pasti pada kader yang akan memutuskan sesuatu," ujarnya.

Menurut Dave, pada rapimnas terakhir ada rekomendasi munas diundur hingga 2015. Tapi, hal itu berlaku jika pilpres digelar 2 putaran. Dirinya juga mempertanyakan, klaim dari para senior termasuk Akbar Tandjung dan Aburizal yang menganggap DPD tingkat I setuju munas digelar 2015.

"Pernyataan itu berdasarkan obrolan saat buka bersama di DPP belum lama ini. Tapi, seharusnya yang seperti itu harus berdasarkan forum resmi, bukan sekadar buka bersama," tegas Dave.

Golkar Siap Jadi Oposisi?

Tarik-menarik kepentingan memang terjadi di Golkar. Ada yang ingin Golkar merapat ke kubu Jokowi-JK. Namun para pendukung Ketum Aburizal Bakrie tetap bertahan pada pendirian mereka, bergabung dalam koalisi pendukung Prabowo-Hatta.

Capres nomor urut 1 Prabowo Subianto telah mengundurkan diri dari Pilpres 2014. Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan, pasangan lawan, Jokowi-JK lah yang menjadi pemenang Pilpres 2014. Lalu bagaimana dengan nasib Partai Golkar yang tergabung dalam koalisi pendukung Prabowo-Hatta?

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, partainya saat ini sudah tak sama lagi seperti masa Orde Baru dulu. Golkar saat ini sudah siap berada di luar pemerintahan.

"Golkar yang sekarang ini Golkar yang era reformasi. Golkar era reformasi itu apa? Dengan paradigma baru, di mana paradigma baru itu, antara lain yang menjadi kepentingan kita adalah Golkar yang demokratis, Golkar yang betul-betul menganut prinsip-prinsip perjuangan rakyat, Golkar yang mandiri, Golkar yang sejalan dengan cita-cita reformasi," kata Akbar di Rumah Polonia, Jakarta Timur, Selasa (22/7/2014).

Karena itu, lanjut Akbar, sebagai politisi harus selalu siap dalam posisi terburuk, termasuk tidak dalam pemerintahan. Karena dalam berpolitik, tidak selalu menyediakan tempat di dalam pemerintahan.

"Sebagai partai politik, kita juga harus selalu siap, walaupun tidak berada di pemerintahan. Tidak selalu partai politik harus ada di pemerintahan. Golkar pun harus siap kalau seandainya tidak berada dalam pemerintahan," ujar dia.

Akbar memastikan akan tetap menjalankan fungsi kontrol dalam menjalankan tugas di parlemen nanti. Hal ini tentu menjadi keniscayaan dalam posisi tidak berada di pemerintahan.

"Tentu saja kita harus mampu menjalankan fungsi-fungsi kita, antara lain fungsi kontrol, fungsi politik, yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Harus siap menjalankan fungsi-fungsi itu," tutur dia.

"Golkar juga harus siap tidak berada dalam pemerintahan. Namanya demokrasi. Kalau sewaktu-waktu kita menang ada di pemerintahan, tapi pada waktu yang lain tidak ada di pemerintahan. Itu normal," pungkas Akbar.

Apa Kata Jokowi?

Akbar Tandjung memang boleh berpendapat demikian. Hanya saja sehari menjelang pengumuman hasil rekapitulasi suara Pilpres 2014 oleh KPU, capres nomor urut 2 Jokowi menegaskan, pihaknya membuka lebar bagi partai-partai pendukung pasangan Prabowo-Hatta yang akan beralih mendukungnya. Kendati, pihaknya tidak akan menerima begitu saja bergabungnya mereka.

Menurut mantan walikota Solo itu, dirinya mempunyai dua pertimbangan menyetujui atau menolak partai-partai dari barisan Koalisi Merah Putih bergabung dalam barisan koalisinya.

"Kalau untuk kebaikan negara dan bangsa mengapa tidak, tapi kalau malah membuat pemerintahan nantinya menjadi berat, ya lebih baik tidak," ujar Jokowi menyebut syarat pertama di Jakarta, Senin 21 Juli 2014.

Jokowi menjelaskan, maksud koalisi memberatkan itu bukan berarti koalisi yang akan dibangun akan menjadi 'koalisi gemuk', yang nantinya akan terjadi praktik bagi-bagi kursi. Namun, sejauh mana koalisi tersebut dapat membantu pemerintahan berjalan efektif.

"Sebetulnya bukan masalahnya gendutnya atau tidak gendut. Ya, organisasinya bisa bekerja cepat atau tidak. Kalau memberatkan ya lebih baik tidak," tegas dia.

Menurut Jokowi lebih baik koalisi seperti saat ini, bila partai-partai dari Koalisi Merah Putih itu menginginkan bergabung, namun meminta syarat-syarat khusus.

"Saya sampaikan, yang dulu saja nggak ada yang minta syarat, masak yang sekarang minta. Itu aja tanpa syarat. Kalau seperti itu tidak mempercepat, berarti memperlambat (program kerja)?" pungkas Jokowi.

Usai Pilpres 9 Juli lalu, beberapa partai disebut-sebut akan 'merapat' ke kubu pasangan Jokowi-JK. Partai tersebut yakni Partai Demokrat dan Partai Golkar. Sejumlah elite PPP juga menyatakan dukungannya kepada Jokowi-JK.

Sinyal Merapat ke Jokowi

Kemungkinan Golkar merapat ke kubu Jokowi bukan tanpa alasan. Sehari sebelum pernyataan Jokowi tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono menyatakan bahwa partainya tidak menutup peluang untuk bergabung dengan partai lainnya yang sudah sejak lama mendukung pasangan Jokowi-JK sebagai Presiden periode 2014-2019.

Apalagi, dalam sejarah politik di Indonesia Partai Golkar tidak pernah beroposisi atau selalu masuk dalam pemerintahan. "Biasanya sih (Golkar) berada di dalam lingkungan pemerintahan, terserah siapa pemerintahnya," ujar Agung Laksono di Istana Negara, Jakarta, Minggu 20 Juli 2014.

Mengenai sosok pasangan Jokowi-JK yang diprediksi bakal memimpin Indonesia dalam 5 tahun ke depan, Agung juga mengaku memiliki kedekatan emosional. Dan JK juga pernah menjadi Ketua Umum Golkar. "Secara pribadi saya dekat dengan dia," ungkap Agung saat itu ketika ditanya dukungannya kepada Jokowi sebagai presiden.

Dan meski mengaku akan bersikap lebih tenang dalam dinamika politik yang cukuk memanas belakangan ini, Agung kembali menegaskan bahwa peluang partainya berbalik mendukung pasangan Jokowi-JK tetap terbuka.

"Selalu ada (kesempatan bergabung dukung Jokowi-JK). Ya tergantung siapa pemerintahnya. Intinya saya cooling down dulu," pungkas Agung yang juga menjabat Menko Kesra di kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.

Sindiran JK

Pernyataan Agung Laksono itu jelas sarat makna. Namun lebih mengejutkan lagi adalah pertemuan Jusuf Kalla dan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung di posko pemenangan pasangan Jokowi-JK di Jalan Jenggala, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu 19 Juli 2014.

Dalam pertemuan jelang tiga hari pengumuman Pilpres 2014 oleh KPU itu, kedua politisi senior yang sama-sama pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar tersebut mengikuti salat tarawih bersama Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).

Dan dalam sambutan di hadapan para keluarga KAHMI, JK menyindir posisi Golkar yang tidak pernah berada dalam oposisi. "Awalnya beda, lama-lama kumpul lagi. Apalagi Golkar Pak Akbar ya, susah dioposisi. Mental Golkar itu mental pembangunan. Jadi oposisi nggak bisa full bekerja untuk pembangunan," kata JK saat itu.

Saat ditanya lebih dalam seputar pernyataannya tersebut, JK menilai hal itu sudah biasa. Dirinya juga menegaskan tidak ada pembicaraan tentang rencana bergabungnya Golkar dengan Jokowi-JK.

"Hanya pertemuan biasa. (Golkar merapat) nggak lah. Ya," singkatnya sebelum meninggalkan acara.

Sementara, Akbar Tandjung juga menegaskan pertemuan hari ini hanya sebatas silaturahmi sebagai keluarga KAHMI. Tidak ada maksud lain dalam pertemuannya dengan JK.

"Anda juga harus sampaikan kalau kedatangan saya ini hanya silaturahmi. Itulah hebatnya kami keluarga besar KAHMI, walaupun kami berbeda pendapat tetap. Itu kan tergantung ijtihad masing-masing. Namanya ijtihad kan masing-masing orang punya kemampuan sendiri untuk melakukan ijtihad. Ini termasuk ijtihad politik, gitu lho," tandas Akbar.

Dua pihak di tubuh Golkar memang punya argumentasi masing-masing soal penyelenggaraan munas. Akankah Ical bisa bertahan dari terpaan desakan kalangan internal? Kita nantikan saja... (Ali)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini