Sukses

2 Hal Ini Dinilai Turut Picu Kisruh Pilpres 2014

Menurut pengamat, penyelenggara pemilu seharusnya tak lagi menggunakan DPK dan DPKTb.

Liputan6.com, Jakarta - Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) dinilai menjadi satu di antara penyebab utama kisruh Pilpres 2014. Penyelenggara pemilu seharusnya tak lagi menggunakan DPK dan DPKTb pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 102/PUU-VII/2009.

Direktur Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (Sigma) Said Salahuddin menjelaskan, DPK dan DPKTb tak harus ada lagi pasca-putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 yang membolehkan orang yang tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) bisa menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP atau paspor.

"Itu (putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009) tidak harus dimaknai untuk dilanggengkan. Jadi itu bukan dimaksudkan untuk terus dipelihara. Putusan itu bersifat darurat demi menyelamatkan puluhan juta rakyat yang tidak terdaftar saat Pemilu Legislatif (2009). Sebagai langkah darurat sebenarnya," kata Said di Jakarta, Selasa (12/8/2014).

Lebih lanjut pemerhati pemilu ini memaparkan, DPK dan DPKTb tak perlu ada lagi karena setelah putusan MK tersebut. Dalam putusan MK lainnya juga menyatakan KPU harus memperbaiki DPT agar tidak ada lagi masyarakat yang tidak terdaftar.

Kalau diperbaiki, kata dia, berarti ketentuan DPK dan DPKTb itu tidak seharusnya dilanggengkan. Said juga menilai penggunaan KTP juga tidak memberi kepastian hukum pada pemilih.

"DPK dan DPKTb tak ada jaminan surat suara. Surat suara dicetak sejumlah DPT ditambah dua persen. Dua persen itu untuk DPT juga, bukan untuk DPK dan DPKTb. DPK dan DPKTb hanya pemilih untung-untungan. Dapat surat suara syukur, nggak dapat ya wasalam. Itu tidak menciptakan kepastian hukum," ujar Said.

Menurut Said, ketentuan mengenai DPK dan DPKTb seharusnya dikaitkan dengan permohonannya. Saat itu, DPK dan DPKTb terkait permohonan pada pemilu 2009.

Saya tidak katakan ada batasan waktu. Karena ada permintaan untuk pemilu 2009, maka bisa ditafsirkan putusan itu hanya untuk pemilu 2009 atau sekurang-kurangnya tidak untuk dilanggengkan dan harus disertai perbaikan kinerja penyelenggara agar mampu menyusun DPT yang berkualitas," kata dia.

Said menjelaskan, jika DPK dan DPKTb dilanggengkan, maka penyelenggara pemilu tidak ada tanggung jawab tinggi untuk menyusun DPT. Mereka akan beralasan kalau tak terdaftar masih ada DPK dan DPKTb, sehingga bebas dari jeratan hukum.

"Tanggung jawab pendaftaran pemilih ada pada penyelenggara, bukan masyarakat. Penyelenggara harus menunjukkan tanggung jawab melaksanakan tugasnya, kalau tidak mampu berarti melakukan pelanggaran," ucap dia.

Said juga mengungkapkan DPK dan DPKTb yang boleh menggunakan surat keterangan resmi dari kepala desa atau lurah, menimbulkan masalah. Masalah pertama, KPU tidak berwenang mengatur tentang syarat pemilih karena itu diatur dalam UU, bukan peraturan KPU.

Masalah kedua, imbuh dia, kepala desa atau lurah selama ini seringkali dikooptasi oleh kekuasaan tertentu. Misalnya oleh kepala daerah atau elite politik lokal sehingga rawan penyimpangan.

"Dan kemarin banyak surat keterangan domisili dari lurah atau kepala desa pada 9 Juli. Ini tidak wajar karena saat itu hari libur, kantor lurah dan kepala desa tutup. Seperti ada mobilisasi. Berbekal surat keterangan itu, orang bisa datang ke TPS," ucap dia.

"DPK dan DPKTb kalau dipelihara tidak memberi harapan terhadap perbaikan kualitas demokrasi kita dan menimbulkan kesemrawutan adminisitrasi pemilu. Itu alasan DPK dan DPKTb tidak harus ada lagi," pungkas Said.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.