Sukses

Siapa Bernyali Naikkan BBM?

Jokowi meminta SBY menaikkan BBM sebelum pemerintahannya berakhir. Baru kemudian Jokowi kembali menaikkan harga pada awal pemerintahannya.

Liputan6.com, Jakarta - Sejak isu kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bergulir ke permukaan, sejumlah antrean panjang terjadi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) pada sejumlah daerah. Misalnya di Cirebon. Puluhan kendaraan mengantre panjang sampai memadati ruas Jalan Cipto Mangunkusumo sepanjang hari, pada Minggu 24 Agustus 2014, dari pukul 04.00-21.00 WIB. Begitu juga di SPBU Pancoran Mas, Depok, yang antreannya hingga kini masih mengular di SPBU Jawa Barat itu.

Selain itu, harga BBM di beberapa daerah meningkat tajam. Harga bensin premiun eceran di Purworejo, Jawa Tengah hampir dua kali lipat dari harga saat ini, yakni mencapai Rp 12 ribu per liter. Bahkan di Kabupaten Kuansing, Riau, harganya menembus Rp 15 ribu per liter.

Kabar BBM naik bukan tanpa alasan. Konsumsi bahan bakar sejauh ini telah melebihi kuota yang telah ditetapkan pemerintah dan jumlahnya diprediksi kuat melampaui kuota yang telah ditetapkan hingga akhir 2014. Dampaknya, pemerintah harus menambah kuota BBM yang berujung pada pengeluaran yang lebih besar pada tahun mendatang.

Menurut Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya, kuota BBM subsidi diperkirakan akan melebihi alokasi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 sebesar 46 juta kiloliter (kl). Kelebihan kuota BBM subsidi sampai akhir tahun diperkirakan mencapai sekitar 1,3 juta kl.

"Jika kuota tidak ditambah dan kami do nothing dalam konteks kebijakan tanpa pengkitiran, premium akan habis pada 20 Desember, sedangkan solar sekitar 5-6 Desember," kata Hanung, 27 Agustus 2014.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy pernah menyebutkan 5 alasan Indonesia harus menaikkan harga BBM. Pertama, harga terlalu murah dibandingkan dengan negara lain. Kedua, kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan DPR bersama pemerintah setiap tahun selalu terlampaui sehingga disinyalir jebolnya kuota ini karena penyelundupan di mana-mana.

"Harga BBM bersubsidi Rp 4.500 per liter terlalu murah, jauh berbeda dengan harga BBM industri yang mencapai Rp 9.300 per liter. Bahkan harga BBM bersubsidi Indonesia adalah yang termurah di dunia untuk ukuran negara net importer," paparnya, tahun lalu.

Ketiga, sejak awal dekade 2000, Indonesia telah beralih status dari negara eksportir menjadi net importir minyak. Keempat, subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai ketentuan Undang-Undang 30 Tahun 2007 tentang Energi.

Terakhir, seperlima APBN telah tersedot untuk subsidi energi yang bersifat konsumtif. Hal ini membuat ruang gerak belanja negara untuk sektor produktif yang lebih bersifat jangka panjang menjadi terbatas. "Publik perlu diberikan pemahaman bahwa perlu pergeseran paradigma dalam meletakkan Indonesia dari eksportir menjadi importir," ujar politisi partai kabar yang karib disapa Romi.

Dengan kondisi tersebut, Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pihaknya akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Menurut dia, kebijakan memotong subsidi BBM bertujuan untuk meminimalisir defisit APBN. Selanjutnya, dana pengurangan subsidi BBM itu nantinya dapat dialihkan ke sektor-sektor usaha lain.

"Kalau kita memotong subsidi itu harus dialihkan untuk usaha-usaha produktif di kampung, di desa, pasar UMKM, pada pupuk, petani, benih, pestisida, nelayan untuk mesin kapal, untuk solar nelayan, kira-kira itu," tutur Jokowi, 28 Agustus 2014.

Mantan Walikota Solo tersebut menambahkan, pengurangan subsidi BBM juga sebagai upaya menekan kebiasaan konsumtif di masyarakat. "Jangan sampai kita ini konsumtif, untuk membeli BBM, untuk membeli mobil, untuk mobil-mobil kita harus mulai mengubah dari sebuah konsumsi, menjadi sebuah produksi itu saja," ucap Jokowi.

Untuk itu, Jokowi menginginkan harga BBM naik secara bertahap sejak sekarang. Dia meminta Presiden SBY untuk meminta, untuk menekan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi, sebelum masa jabatannya berakhir pada Oktober 2014 mendatang.

"Jadi ini terus terang ingin saya sampaikan tadi malam. Memang secara khusus, saya meminta kepada Presiden SBY untuk menekan defisit APBN dengan menaikkan harga BBM," urai Jokowi.

Namun, kata Jokowi, SBY menganggap saat ini kurang tepat untuk menaikkan harga BBM. Gubernur DKI Jakarta itu juga tak menyebutkan kapan harga BBM bersubsidi akan dinaikkan.

"Saya ini masih gubernur. Ini wilayahnya sekarang wilayahnya beliau (SBY). Beliau (SBY) menyampaikan bahwa saat ini, kondisinya dianggap masih kurang tepat untuk menaikkan BBM. Kira-kira itu jawaban SBY," tambah mantan Walikota Solo itu.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto menjelaskan sikap pemerintah SBY terkait rencana kenaikan BBM oleh Jokowi. Kata dia, SBY menilai kebijakan kenaikan harga BBM bersubdisi tahun tidak tepat karena adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan gas LPG 12 kilogram.

"Presiden (SBY) memberikan penjelasan bahwa tahun lalu sudah dinaikkan harga BBM. Jadi tidak tepat apabila kebijakan kenaikan BBM itu diambil," ujar Djoko dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, 28 Agustus 2014.

Dia menjelaskan, kenaikan BBM tahun ini akan berdampak besar bagi masyarakat luas. Rakyat kelas menengah ke bawah akan semakin menderita. "Karena yang paling menderita akibat itu adalah rakyat. Inflasi akan naik, harga-harga akan naik, angka kemiskinan otomatis akan naik, pertumbuhan melambat, pengangguran meningkat dan sebagainya," papar Djoko.

Menurut dia, kenaikan harga BBM baru tepat dilakukan bila terjadi kenaikan harga minyak dunia yang sangat besar. Sementara saat ini harga minyak dunia diprediksi turun. "Kecuali ada perubahan yg sangat mendasar, seperti kenaikan harga minyak dunia naik drastis. Saat ini kecenderungannya turun," kata Djoko.Pro Kontra>>>

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pro Kontra


Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi menuai pro dan kontra. Ada yang mendukung, ada juga yang menolak.

Menteri Keuangan Chatib Basri mendukung Jokowi untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi pada tahun depan. Pasalnya dengan kebijakan tersebut, akan ada penghematan anggaran negara hampir Rp 100 triliun.

"Kalau pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi di 2015 sebesar Rp 1.000 per liter, kita bisa saving Rp 48 triliun. Sedangkan kalau naik Rp 2.000 per liter, saving-nya Rp 96 triliun," ungkap Menteri Keuangan Chatib Basri ditemui saat menjadi Pembicara di Indonesia Banking Expo, Jakarta, 28 Agustus 2014.

Nilai penghematan tersebut, menurut dia, mampu mempersempit defisit anggaran hampir sekira satu persen. Artinya dengan menyesuaikan harga BBM subsidi, kata Chatib, pemerintahan Jokowi dapat menurunkan defisit anggaran dari 2,32 persen dalam RAPBN 2015 menjadi 1,32 persen.

"Saya itu orang yang paling senang jika (anggaran) BBM subsidi dipotong. Jika saya potong subsidi Rp 2.000 per liter, saya harus konsultasi dengan pemerintahan baru, apakah benar mau dipotong," jelasnya. Penyesuaian harga, menurut dia, merupakan keputusan strategis di situasi pemerintahan transisi seperti sekarang ini.

Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto, pemerintahan saat ini meninggalkan pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan, yaitu masalah subsidi BBM yang tidak terkendali dan semakin parah dari tahun ke tahun. "Dan sangat disayangkan ini akan menjadi warisan problem yang sangat berat bagi pemerintah yang akan datang," kata dia.

Suryo mengatakan, masih belum terselesaikannya masalah subsidi BBM ini ibarat pemerintah sekarang meninggalkan rumah bagi penghuni baru dalam keadaan rusak berat, rapuh dan kotor tidak terawat. Ini artinya penghuni baru atau pemerintah selanjutnya yang harus kerja keras memperbaiki keadaan rumah tersebut.

"Padahal sebenarnya tidak sulit bagi bagi penghuni saat ini untuk sebelum pergi memperbaiki dahulu rumah tersebut sehingga kondisinya layak huni dan tidak dalam keadaan yang sangat menyedihkan," tandasnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menuturkan, pemerintahan yang akan dipimpin oleh Jokowi selama lima tahun ke depan mau tidak mau harus menaikkan harga BBM bersubsidi.

"Naiknya mesti sekaligus, mungkin pada mula pemerintahan Jokowi-JK ini akan dinaikkan lah. Saya tidak tahu, mungkin kenaikan yang sekitar saya dengar Rp 3 ribu masih ada subsidi Rp 2 ribu, kita bisa hadapi itu, kita bisa hitung dari sekarang," ujar Sofyan, 28 Agustus 2014.

Menurut Sofjan, meski kenaikan harga BBM nanti akan memberikan dampak pada inflasi dan lonjakan biaya produksi, namun hal itu akan diantisipasi oleh para pengusaha. Sehingga dia juga tidak yakin akan spekulasi yang dilakukan pengusaha jika harga BBM dinaikkan.

"Kami sebagai pengusaha itu bisa menjaga tidak ada spekulasi-spekulasi, cari untung pengusaha sebesar-besarnya. Yang akan naik itu logistik kita sedikti, tapi tidak akan besar saya kira. Paling banyak transportasi itu naik barangkali 10 persen kalau naik Rp 3 ribu. Tapi pemerintah bangun infrastruktur," tandasnya.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Ramadhan Pohan  meminta kubu Jokowi untuk ingat sikap PDIP sebelumnya yang lantang menolak kenaikan BBM pada saat pemerintahan SBY. Menurut dia, partai berlambang moncong putih menjadi fraksi yang paling santer menentang kebijakan pemerintah untuk kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY.

"Kalau kata orang Myanmar, Budha, orang itu harus ingat karma. Nah, parpol juga gitu. Dulu saat oposisi asal njeplak (menolak kenaikan BBM). Jadinya ini mereka jiper sama tuntutan rakyat," kata Ramadhan, 27 Agustus 2014.

Dia menjelaskan, langkah SBY untuk menaikkan harga BBM atas dasar kepentingan nasional, bukan karena kehendak partai atau pihak luar yang mendukung maupun menentang.

"SBY nggak pernah naikkan atau nurunkan harga BBM karena tekanan politik parpol. Kebijakan Pak SBY solid dan konsisten untuk rakyat. Sekarang pun begitu. SBY, mau naikkan atau turunkan atau status quo harga BBM, juga bukan karena PDIP. Ukuran Pak SBY itu hanya rakyat dan kepentingan nasional. Bukan pencitraan," ujar Ramadan. "Belum berkuasa, eh kini sudah mulai nggak PD (percaya diri). Makanya ngono yo ngono, ning ojo ngono."

Wakil Sekretaris Jenderal PKS Fahri Hamzah menyindir sikap PDIP yang dulu menolak keras wacana kenaikan harga BBM bersubsidi oleh Presiden SBY. Sindiran Fahri itu ditujukan untuk pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK yang merencanakan menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi.

"Tadi ditanya ke teman-teman, intinya kita ikut PDIP. Kita dukung PDIP (yang dulu) tolak kenaikan BBM," kata Fahri, 27 Agustus 2014.

Anggota Komisi III DPR itu menjelaskan, saat SBY-Boediono akan menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu, PDIP bersama PKS adalah 2 partai yang paling vokal menyampaikan penolakannya. Sekarang, kata Fahri, PKS juga akan tetap bersama-sama PDIP menolak kenaikan harga BBM.

"PDIP itu sampai demonstrasi loh dulu. Jadi kita ini harus konsisten kayak PDIP. PKS kan teman setianya PDIP makanya kita tolak kenaikan BBM," ujarnya.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyatakan pihaknya akan menolak kenaikan BBM. Hal itu karena  dengan ada kenaikan harga akan menurunkan daya beli buruh yang sebagian besar pemakai sepeda motor. "Tekanan anggaran BBM karena besarnya subsidi, bagi buruh menurunkan daya beli," kata dia, 27 Agustus 2014.

Dia menerangkan, rencana kenaikan harga buruh tak sejalan dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang terbilang kecil. Dia mencontohkan, untuk tahun lalu kenaikan UMK sebanyak Rp 200 ribu.

Sementara isu kenaikan harga BBM bersubsidi yang santer terdengar sebanyak 20 persen-40 persen. Hal itu membuat daya beli yang sebelumnya Rp 200 ribu bakal tergerus karena efek kenaikan BBM tersebut. "Jadi kenaikan ongkos rumah dan transportasi Rp 150 ribu, kenaikan UMK Rp 200 ribu, daya belinya nggak jadi Rp 200 ribu hanya Rp 50 ribu," kata dia.

Oleh karena itu, menurut Said, menaikkan harga BBM bukanlah cara terbaik. Dia mengatakan, masih ada sejumlah alternatif untuk mengatasi membengkaknya alokasi beban negara dari BBM.

Ia menuturkan, adanya dana sisa anggaran belanja negara yang diperkirakan mencapai Rp 30 triliun dapat digunakan. Lalu mengurangi BBM untuk sektor-sektor yang masih bisa menggunakan bahan bakar alternatif. "Karena itu KSPI menilai menaikkan BBM bukan cara atau opsi yang harus dipilih," tandas Said.

Lantas, bagaimana menurut Anda?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini