Sukses

Terancam Tak Dapat Kursi Ketua DPR, PDIP Uji Materi UU MD3 ke MK

Perubahan pada Undang-Undang tentang MPR, DPR, dan DPRD (MD3) disahkan pada 8 Juli 2014.

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan pada Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) disahkan pada 8 Juli 2014. Salah satu perubahannya adalah, mekanisme pemilihan pimpinan DPR, dari sistem proporsional menjadi sistem paket.

Sistem proporsional adalah memberikan mandat kepada partai pemenang Pemilu Legislatif (Pileg). Sistem paket adalah setiap anggota DPR memilih pimpinan berdasarkan partai politik.

Dengan begitu, PDIP sebagai pemenang Pemilu Legislatif 2014 pun terancam tak bisa menempatkan kadernya sebagai Ketua DPR.

Penentuan perubahan UU MD3 itu dilakukan secara voting. 6 Partai politik yang termasuk koalisi raksasa mendukung sistem paket. Koalisi tersebut merupakan partai pendukung Prabowo-Hatta yaitu Partai Golkar, Gerindra, PKS, PPP, PAN, dan Demokrat.

Sementara yang menolak perubahan sistem proporsional menjadi sistem paket adalah partai pendukung Jokowi-JK yaitu PDIP, PKB, dan Hanura. Merasa hak konstitusionalnya dizalimi, PDIP pun akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

"Sejauh ini PDIP memang merasakan ada hak konstitusional kami yang dilanggar akibat dipaksakan UU MD3 yang disahkan 8 Juli lalu. Itu pemaksaan perubahan proses pemilihan pimpinan DPR yang tadinya diberi proporsional sebagai penghargaan pada parpol jadi dipilih secara liberal," ujar Wakil Sekjen (Wasekjen) Ketua DPP PDIP Ahmad Basara, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (10/7/2014).

"Kami merasa hak konstitusi kami dilanggar, maka kami akan gunakan saluran hukum untuk judicial review ke MK," tambahnya.

Basara menerangkan, tidak hanya PDIP saja, ada pula kelompok masyarakat yang sepikiran terjadi pelanggaran hak konstitusional. Ia mengatakan, akan mengkhususkan uji materi pada Pasal 82 UU MD3 terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR.

Dia mengatakan, dengan sistem proporsional yang lama, PDIP bisa menentukan kader-kader yang dianggap punya kapabilitas untuk jadi Ketua DPR. "Kita memilih tak melihat suara terbanyak para kader, tapi berdasar asas kepatutan. Sekarang tidak bisa, karena aturan diubah," tandas Basara. (Sss)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini