Sukses

Loloskan Capres Pelanggar HAM, KPU Diadukan ke Bawaslu

Sejumlah orangtua korban kerusuhan Mei 1998 yang tergabung dalam Koalisi Melawan Lupa hari ini mengadukan KPU ke Bawaslu.

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Melawan Lupa hari ini mengadukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Mereka menganggap KPU tak responsif karena meloloskan pelanggar HAM menjadi capres pada pilpres 2014.

Koalisi yang antara lain beranggotakan 15 orangtua yang mengaku anaknya hilang pada kerusuhan Mei 1998, mendatangi Bawaslu dengan didampingi koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar dan Ketua Setara Insitute Hendardi.

"Kami semua ini sudah berulang-ulang ke KPU, jauh sebelum pemilu legislatif. Koalisi Melawan Lupa sudah datang ke KPU untuk tidak menerima calon capres yang melanggar HAM berat," kata Haris di Gedung Bawaslu, Jakarta, Senin (23/6/2014). Namun Haris tidak menyebutkan siapa capres yang dimaksud melanggar HAM tersebut.

Selain itu, menurut Haris, Koalisi Melawan Lupa yang juga beranggotakan Kontras, Setara Institute, dan Imparsial memberikan surat resmi kepada KPU. Mereka meminta agar KPU menelusuri capres atau cawapres yang terindikasi melanggar HAM.

"Kita juga datang ke KPU untuk mengecek, apakah prasyarat capres soal unsur tindak pindana tercela didata atau tidak? Tapi kita tidak diterima," ungkapnya.

Menurut Haris, KPU seharusnya melakukan verifikasi karena menerima capres pelanggar HAM berat. "Apakah KPU sudah memverikasi ke TNI karena adanya surat dari DKP, lantas ke presiden, karena keputusan surat pemberhentian, dan Mabes serta Jaksa Agung? Karena berkas tersebut hanya kembali ke Komnas HAM," tandas Haris.

Adapun capres yang disebut-sebut terkait pelanggaran HAM 1998 adalah Prabowo Subianto.Mantan Danjen Kopassus yang saat itu memimpin Tim Mawar dianggap memiliki inisiatif menculik sejumlah aktivis 1998. Hal itu diakui atasannya yakni, mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Wiranto.

Namun Prabowo membantahnya. Menurut dia, kondisinya saat itu hanyalah sebagai prajurit yang melakukan perintah dari sang atasan.

Berurai Air Mata

Maria Sanu, orangtua dari Stevanus Sanu --korban Tragedi Mei 1998-- berurai air mata, saat mendatangi  Bawaslu untuk mengadukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU dinilai meloloskan Prabowo Subianto sebagai capres.

Maria mengatakan Prabowo tidak layak menjadi capres, karena mantan Danjen Kopassus tersebut melanggar HAM berat Mei 98. Maka itu ia menyayangkan KPU, yang seharusnya tidak meloloskan Prabowo sebagai capres Pilpres 2014.

"Prabowo itu kan melanggar HAM, masa mau jadi presiden?" kata Maria, di Gedung Bawaslu, Jakarta, Senin (23/6/2014).

Maria mengungkapkan, Stevanus adalah anak ke-8 dari 10 bersaudara yang hilang pada Tragedi Mei 1998. Saat itu, anaknya sedang bermain di Mall Yogya --sekarang Mall Citra Klender-- yang hingga kini tidak pernah kembali.

"Jenazah tidak diketemukan, pemberitahuannya di kubur massal di Pondok Rangon," lirihnya.

Maria yang didampangi Koalisi Melawan Lupa, seperti Kontras, Setara Institute, Imparsial, menenteng poster berukuran kecil yang bergambar Soeharto, Prabowo Subianto, Wiranto. Poster itu bertuliskan 'Penculikan Aktivis 97-98, TNI Harus Bertanggung Jawab'.

Karena itu, perempuan yang sudah berambut memutih ini, tidak terima jika presiden Indonesia nanti adalah pelanggar HAM berat.

Hal senada juga diakui Ketua Setara Institute Hendardi. Ia menyayangkan sikap KPU yang seharusnya tidak menerima capres pelanggar HAM. Terlebih syarat pendaftaran capres hanya dari Surat Keterangan Catatan Kejahatan (SKCK).

"Masa mau jadi capres rekomendasinya cuman dari SKCK. Harusnya KPU bisa tanya langsung ke TNI, Jaksa Agung, dan presiden, bahkan DPR yang telah merekomnedasikan presiden menyelesaikan kasus penghilangan orang secara paksa," pungkas Hendardi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini