Sukses

Suryadharma: Pelengseran Ketua Umum Tidak Sah

Menurut Ketua Umum PPP nonaktif Suryadharma Ali, tidak sahnya keputusan itu karena Rapimnas tanpa dihadiri ketua umum.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) nonaktif Suryadharma Ali menyatakan hasil keputusan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PPP, Minggu 20 April dini hari, yang memberhentikan dirinya sebagai Ketua Umum, tidak sah secara aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.

"Saya jelaskan yang namanya Rapimnas, Mukernas, Muktamar, ditetapkan DPP PPP, penanggung jawab dalam hal ini ketua umum. Kemarin yang melengserkan ketua umum itu tidak sah, karena forumnya (Rapimnas) sendiri liar, karena tidak dilaksanakan oleh ketua umum," kata Suryadharma di Kantor DPP PPP, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (20/4/2014) malam.

Suryadharma menjelaskan, upaya pelengseran jabatan ketua umum hanya bisa dilakukan melalui Muktamar partai 5 tahun sekali. Atau jika diperlukan Muktamar Luar Biasa, yang tidak harus menunggu 5 tahun dari Muktamar sebelumya.

"Jadi jika ada upaya pelengseran ketua umum harus dilakukan saat Muktamar. Kalau ada upaya pelengseran ketua umum di luar forum Muktamar itu tidak sah menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai," jelas pria yang akrab disapa SDA itu.

Suryadharma menegaskan, pihaknya akan segera melakukan islah atau jalan damai dengan semua pengurus PPP. Jika islah sudah dilakukan konflik tak juga usai, ia akan memberikan sanksi kepada pengurus partai yang membelot keputusan ketua umum.

"Pasti segera kita akan lakukan islah, tapi jika tidak ketemu juga jalan damai itu kita akan berikan sanksi yang nanti disesuaikan," tandas Suryadharma.

Suryadharma mengakui, kisruh di internal partainya memalukan dan sangat merugikan PPP secara nasional. Maka itu islah harus segera dilakukan. Namun, pria yang akrap disapa SDA itu tidak menjelaskan seperti apa upaya islah itu. Dia hanya menekankan upaya islah akan ditempuh dalam waktu dekat.

"Segera akan dilakukan islah, ini menyangkut kelangsungan organiasi. Kita partai islam, maka harus dengan jalan islah menyelsaikan masalah (konflik) di tubuh partai kita. Akan diupayakan islah. Soliditas tentu terganggu dengan adanya peristiwa seperti ini, maka kewajiban saya untuk mengembalikan soliditas itu ke tempat yang baik," kata Suryadharma.

Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akhirnya menelurkan sejumlah keputusan strategis. Rapat yang berlangsung selama lebih dari 5 jam itu mencatat 5 keputusan yang disepakati jajaran pengurus yang hadir.

"Poin 1 mengukuhkan hasil rapat pengurus harian DPP PPP yang dilaksanakan pada Jumat 18 April 2014," ujar Sekretaris Rapimnas Romahurmuziy saat membacakan hasil keputusan Rapimnas di Kantor DPP PPP, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu 20 April dini hari.

Keputusan lainnya adalah pemberhentian sementara Suryadharma Ali (SDA) sebagai Ketua Umum PPP. Pria yang akrab disapa Romy itu mengatakan, pada poin 2 ini PPP telah melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk membangun komunikasi. Namun, SDA tetap tidak bersedia menghadiri forum Rapimnas ini.

"Atas dasar tersebut, Rapimnas I PPP dengan tetap berpegang teguh pada konstitusi (AD/ART) partai mengoreksi sanksi yang diputuskan rapat pengurus harian DPP pada 18 April 2014, dari yang semula peringatan pertama menjadi pemberhentian sementara kepada Suryadharma Ali dari jabatannya selaku Ketua Umum DPP PPP," kata Romy yang juga Sekretaris Jenderal PPP itu.

Konflik ini buntut dari kedatangan Suryadharma pada kampanye Partai Gerindra di Gelora Bung Karno Senayan, pada masa kampanye Pileg beberapa pekan lalu. Kedatangan Suryadharma dianggap melanggar aturan PPP atau AD/ART.

Konflik semakin memanas ketika 26 Ketua DPW PPP berkumpul di Sentul, Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Mereka membuat mosi tidak percaya terhadap SDA lantaran dianggap menyalahi aturan partai terkait kehadiran dan orasinya pada kampanye Partai Gerindra 23 Maret 2014.

Mereka menuntut pengurus DPP untuk segera menggelar rapat pleno guna membahas manuver SDA. Namun, kubu SDA malah menanggapi tuntutan itu dengan memecat sejumlah pengurus partai, karena dianggap berusaha melakukan pemakzulan atau pelengseran terhadap ketum partai.

Melalui SK yang ditandatangani SDA dan Wasekjen Syaifullah Tamliha tertanggal 16 April 2014, DPP PPP memberhentikan Wakil Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan 4 Ketua DPW PPP, yakni Ketua DPW PPP Jawa Barat Rahmat Yasin, Ketua DPW PPP Sumatera Utara Fadli Nursal, Ketua DPW Jawa Timur Musyafa Noer, dan Ketua DPW PPP Sulawesi Selatan Amir Uskara.

Terancam Tak Ikut Pilpres

Sementara pengamat politik Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin menilai, jika tak segera menyelesaikan konflik internalnya, PPP terancam tidak bisa berkoalisi dengan parpol manapun untuk mengajukan pasangan capres-cawapres.

"Partai tersebut berpotensi hanya akan menjadi penonton pada Pilpres 2014. Kalau SDA dan kelompoknya tetap pada pendirian untuk berkoalisi dengan Gerindra guna mencapreskan Prabowo, dan kubu Romahurmuziy memilih berkoalisi dengan parpol lain untuk mengusung capres selain Prabowo, maka dukungan kedua kubu kepada masing-masing capres pilihannya akan sia-sia. Karena tidak akan diterima hukum," ujar Said kepada Liputan6.com, Minggu 20 April malam.

Said menjelaskan, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden telah menegaskan bahwa parpol atau gabungan parpol hanya dapat mencalonkan satu pasangan calon. Sementara surat pencalonan itu wajib ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal parpol bersangkutan. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 10 ayat (3), Pasal 13, dan Pasal 15 huruf a UU Pilpres.

"Dengan aturan itu, sebagai Ketua Umum PPP, SDA tidak akan bisa mencalonkan Prabowo tanpa adanya tanda tangan Romy. Sebaliknya, Romy sebagai Sekjen PPP tidak akan bisa mendukung capres lain tanpa tanda tangan SDA. Tanda tangan Romy tidak pula bisa digantikan oleh tanda tangan wakil sekjen. Begitupun tanda tangan SDA tidak bisa digantikan oleh Wakil Ketua Umum Emron Pangkapi yang kini ditunjuk sebagai Plt Ketua Umum, misalnya," papar Said.

Menurut Said, andai pun kubu SDA menetapkan Sekjen PPP yang baru, dan kubu Romy menetapkan Ketua Umum PPP pengganti SDA, tidak serta merta membuat salah satu kubu dapat memenuhi syarat koalisi untuk mengusung pasangan capres-cawapres. "Sebab, dalam menilai kepengurusan parpol yang sah, KPU akan merujuk kepada SK Menkum HAM tentang susunan kepengurusan PPP."

Sedangkan sampai saat ini, lanjut Said, berdasarkan SK Menkum HAM No.M.HH-20 AH.11.01 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Perubahan Susunan Personalia DPP PPP masa bakti 2011-2015, yang ditandatangani kader Partai Demokrat Amir Syamsuddin pada 4 September 2014, nama Ketua Umum dan Sekjen PPP yang sah adalah SDA dan Romy.

"Artinya, jika SDA maupun Romy ingin mengubah SK Menkum HAM tersebut, maka salah satu pihak harus mendapatkan persetujuan dari Amir Syamsuddin (Menkum HAM). Sekalipun menurut peraturan perundang-undangan seorang menteri harus bekerja secara profesional, tetapi karena ini adalah momentum politik, maka bisa saja dipenghujung masa kekuasaannya ini, Partai Demokrat menggunakan Amir Syamsuddin untuk 'mengatur' penyelesaian konflik PPP," pungkas Said.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.